Praktik Pembagian Usulan DPRD Lama dan Baru di Kalbar Dinilai Melanggar Aturan dan Merusak Tata Kelola Pemerintahan Daerah



Kalimantan Barat ,Pontianak|  Beredarnya pesan WhatsApp dari admin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Kalimantan Barat yang menyatakan bahwa usulan program dari anggota DPRD yang baru dilantik belum dapat diproses sebelum ada pembagian data usulan antara anggota DPRD lama dan baru, memunculkan kontroversi serius terkait mekanisme perencanaan pembangunan daerah.


Pesan ini memperlihatkan adanya praktik yang mengindikasikan bahwa usulan pembangunan dianggap sebagai milik pribadi anggota dewan lama yang harus “dibagi” kepada anggota dewan baru, bukan sebagai bagian dari proses kelembagaan yang bersifat transparan dan partisipatif. Situasi ini menuai kritik tajam dari pengamat hukum, pemerintahan, serta kalangan masyarakat sipil, karena berpotensi melanggar sejumlah aturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).


 *Mekanisme Pengajuan Usulan yang Bermasalah* 


Dalam pesan yang tersebar dan telah dikonfirmasi, admin Bappeda menegaskan bahwa usulan perubahan anggaran dari anggota DPRD baru tidak dapat diproses apabila belum terjadi “pembagian data” softcopy usulan antara anggota DPRD lama dan baru. Hal ini mengimplikasikan bahwa pemrosesan usulan bergantung pada kesepakatan informal antar individu anggota dewan lama dan baru.


Praktik ini bertentangan dengan semangat demokrasi dan akuntabilitas publik, karena:


* Menghambat hak anggota DPRD baru untuk menjalankan fungsi legislasi dan aspirasi masyarakat secara mandiri.

* Menjadikan proses perencanaan sebagai arena transaksi dan negosiasi pribadi, bukan sistem yang transparan dan berbasis kebutuhan masyarakat.

* Berpotensi memicu praktik korupsi dan kolusi, serta diskriminasi politik dalam pengelolaan anggaran daerah.


 *Landasan Hukum yang Dilanggar* 


 *Permendagri No. 86 Tahun 2017* 


Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah mengatur bahwa proses penyusunan RKPD harus dilakukan secara partisipatif, melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan berbasis kebutuhan riil masyarakat. Pasal 78 dan 80 menegaskan bahwa:


* Usulan pembangunan adalah produk musyawarah dan mekanisme kelembagaan, bukan kepemilikan pribadi.

* Proses penyusunan dokumen perencanaan harus transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.


 *Pedoman dari KPK RI* 


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sejumlah kajian dan pedomannya mengingatkan bahwa:


* Personalisasi pokok-pokok pikiran anggota DPRD dalam proses perencanaan anggaran membuka peluang transaksi politik dan penyalahgunaan kewenangan.

* Sistem perencanaan yang sehat harus mengedepankan transparansi dan akuntabilitas agar mencegah praktik korupsi dan kolusi.


 *Peraturan Menteri Keuangan No. 190/PMK.07/2021* 


Peraturan ini mengatur prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah yang harus memenuhi aspek efektivitas, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Menahan atau membatasi proses pengajuan usulan tanpa dasar hukum yang jelas merupakan pelanggaran terhadap prinsip pengelolaan anggaran daerah yang sehat.


 *Perpres No. 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia* 


Perpres ini menegaskan pentingnya pengelolaan data pemerintah yang terintegrasi, sistemik, dan dapat diakses secara sah oleh pemangku kepentingan. Mekanisme pembagian data secara informal antar anggota DPRD lama dan baru bertentangan dengan prinsip ini dan berpotensi memanipulasi data untuk kepentingan tertentu.



 *Implikasi dan Risiko Sistematis* 


Praktik ini tidak sekadar masalah administratif. Jika dibiarkan, hal ini akan menyebabkan:


* *Diskriminasi Politik Internal*: Anggota DPRD baru kehilangan hak dan ruang untuk berkontribusi secara maksimal dalam penyusunan program pembangunan.

* *Feodalisme Anggaran*: Usulan pembangunan menjadi komoditas politik yang diwariskan dan dipertukarkan antar elite, bukan untuk kepentingan rakyat.

* *Potensi Korupsi dan Kolusi*: Menghambat pengawasan dan membuka ruang bagi manipulasi anggaran daerah.

* *Krisis Tata Kelola dan Akuntabilitas*: Menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan dan proses perencanaan pembangunan.


 *Suara Kritis dari Pakar dan Aktivis* 


Anto, akademisi dan pengamat tata kelola pemerintahan dari Universitas di kalbarv, menegaskan:


*"Mekanisme pembagian usulan antar anggota DPRD lama dan baru adalah pelanggaran terhadap prinsip kelembagaan dan demokrasi perencanaan. Ini akan melemahkan fungsi DPRD sebagai lembaga representasi rakyat dan mengganggu prinsip good governance."*


, Arief aktivis antikorupsi  dari Kalbar , menambahkan:


*"Jika usulan pembangunan harus melalui persetujuan atau ‘izin’ dari anggota lama, maka jelas terjadi personalisasi dan transaksi politik yang berbahaya. KPK harus segera turun tangan dan melakukan investigasi menyeluruh."*


 *Tuntutan dan Harapan* 


Masyarakat sipil dan sejumlah anggota DPRD baru mendesak Gubernur Kalbar, Ketua DPRD, serta Kemendagri untuk segera mengevaluasi dan mereformasi prosedur ini agar:


* Mekanisme serah terima pokok pikiran berjalan secara formal, transparan, dan sesuai aturan.

* Tidak ada diskriminasi dalam proses pengajuan usulan program pembangunan.

* Sistem e-planning dan integrasi data diperkuat sesuai Perpres Satu Data Indonesia.

* KPK melakukan audit investigasi terkait potensi penyalahgunaan kewenangan dan korupsi dalam perencanaan anggaran daerah.


 *Penutup* 


Kasus pembagian usulan antar anggota DPRD lama dan baru di Kalbar bukan sekadar persoalan teknis, melainkan cerminan dari masalah mendasar tata kelola pemerintahan daerah. Untuk menjaga kepercayaan publik dan integritas proses pembangunan, diperlukan reformasi menyeluruh dan penegakan hukum yang tegas terhadap praktik-praktik yang melanggar aturan.


Sambung.. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Korupsi dana desa tak di tindak relawan prabowo prawiro Profesonal kepri akan laporan kan kapolres

Masyarakat Apresiasi ke PT CSA Melakukan Perbaikan Jalan di wilayah Desa Teluk